Friday, October 5, 2018

Jatuh Cinta pada NU


Oleh: Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya

Dahulu saya sering duduk di rumahnya Kiai Abdul Fattah, untuk mengaji. Disitu ada seorang waliyullah, namanya Kiai Irfan Kertijayan. Kiai Irfan adalah sosok ulama yang hapal keseluruhan kitab Ihya Ulumiddin, karena kecintaannya yang mendalam pada kitab tersebut. 

Setiap kali bertemu saya, beliau pasti memandangiku, dan menangis. Disitu ada Kiai Abdul Fattah, dan Kiai Abdul Adzim. Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan gaya berpakaian Anda, yang suka pakai sarung putih, baju dan kopiah putih, persis guru saya.”
“Siapa Kiai?” jawab saya.
“Habib Hasyim bin Umar,” jawab Kiai Irfan.

Saya mau mengaku cucunya, tapi kok masih seperti ini, belum menjadi orang yang baik, batinku dalam hati. Mau mengingkari atau berbohong, tapi kenyataannya memang benar, kalau saya adalah cucunya, Habib Hasyim bin Umar. Akhirnya Kiai Abdul Adzim, dan Kiai Abdul Fattah yang menjawab, “Lha... beliau adalah cucunya.”
Selanjutnya Kiai Irfan merangkul, dan menciumiku sembari menangis hebat saking gembiranya. Kemudian beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup, saya mau cerita Bib. Tolong ditulis.”
“Cerita apa Kiai?” jawab saya.
“Begini,” kata Kiai Irfan mengawali ceritanya. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari setelah beristikharah, bertanya kepada Kiai Kholil Bangkalan. Bermula dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Nahdlah-nahdlah yang lainnya, beliau merasa kebingungan. Sehingga, akhirnya beliau ke Mekkah untuk beristikharah di Masjidil Haram. Disana, kemudian beliau mendapat penjelasan dari Kiai Mahfudz At-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi, ulama Jawa yang sangat 'alim. Kitab-kitab di Mekkah, kalau belum di-tahqiq atau ditandatangani oleh Kiai Ahmad Nahrawi, maka kitab tersebut tidak akan berani dicetak. Itu pada masa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekkah pada waktu itu.

Syaikh Mahfudz At-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi dawuh kepada Kiai Hasyim Asy’ari, “Kamu pulang saja. Ini alamat/pertanda NU bisa berdiri hanya dengan dua orang. Pertama, Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya Pekalongan, dan kedua Kiai Ahmad Kholil Bangkalan (Madura).”
Maka, Kiai Hasyim Asy’ari pun segera bergegas untuk pamit pulang kembali ke Indonesia. Beliau bersama Kiai Asnawi Kudus, Kiai Yasin dan Kiai-kiai lainnya langsung menuju ke Simbang Pekalongan, untuk bertemu Kiai Muhammad Amir, dengan diantar oleh Kiai Irfan. Kemudian langsung diajak bersama, menuju kediaman Habib Hasyim bin Umar.

Baru saja sampai di kediaman Habib Hasyim, beliau langsung berkata, “Saya ridha. Segeralah buatkan wadah Ahlussunnah wal Jama’ah, ya Kiai Hasyim, dirikan!. Namanya, sesuai dengan apa yang diangan-angankan oleh Anda. Yakni, Nahdlatul Ulama. Tapi tolong, nama saya jangan ditulis.” Jawaban terakhir ini, karena wujud ketawadluan Habib Hasyim.

Kemudian Kiai Hasyim Asy’ari meminta balagh (penyampaian ilmu) kepada Habib Hasyim, “Bib, saya ikut mengaji bab hadits disini. ya? Sebab Panjenengan, punya sanad-sanad yang luar biasa.” Makanya, Kiai Hasyim Asy’ari tiap Kamis Wage pasti di Pekalongan, bersama Hamengkubuwono IX. Waktu itu, beliau masih bernama Darojatun. Jadi Sultan Hamengkubowono IX itu bukan orang bodoh, beliau orang yang alim dan ahli thariqah.

Setelah dari Pekalongan, Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke Bangkalan Madura untuk bertemu Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Namun, baru saja Kiai Hasyim Asy’ari tiba di halaman depan rumah, Kiai Ahmad Kholil sudah mencegatnya seraya dawuh, “Keputusan saya sama, seperti Habib Hasyim.” Lha... dua orang ini kok bisa kontak-kontakan, padahal Pekalongan-Madura lumayan jauh, dan waktu itu belum ada handphone. Inilah hebatnya.

Akhirnya, berdirilah Nahdlatul Ulama. Dan Muktamar NU ke-5, ditempatkan di Pekalongan, sebab hormat kepada Habib Hasyim bin Umar. Jadi jika dikatakan Habib Luthfi kenceng (fanatik) kepada NU, karena merasa punya tanggungjawab kepada Nahdlatul Ulama, dan semua Habib. Dan ternyata cerita ini, disaksikan bukan hanya oleh Kiai Irfan, tapi juga oleh Habib Abdullah Faqih Al-Aththas, ulama yang sangat ahli ilmu fiqih.

Maka dari itu, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas dengan Habib Hasyim bin Yahya tidak bisa terpisahkan. Kalau ada tamu ke Habib Hasyim, pasti disuruh sowan (menghadap) dahulu kepada yang lebih sepuh, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al- Aththas. Dan, jika tamu tersebut sampai ke Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib, maka akan ditanya, “Kamu suka atau tidak, kepada adik saya, Habib Hasyim bin Umar?” dengan maksud agar sowan-nya ke Habib Hasyim saja. Itulah, ulama memberikan contoh kepada kita, untuk tidak perlu saling berebut dan sikut, tapi selalu kompak dan rukun.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas, wafat tanggal 14 Rajab 1347 H. Haulnya, dilaksanakan tanggal 14 Sya’ban. Tiga tahun setelah wafatnya beliau, tepat di tahun 1350 H, Habib Hasyim bin Umar bin Yahya wafat. Setahun kemudian, 1351 H. wafatnya Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas Bogor. Waktu itu, banyak para ulama-ulama besar, seperti; Mbah Kiai Adam Krapyak, dan Kiai Ubaidah. Beliau-beliau merupakan para wali Allah dan sebagai samudera ilmu.

(Disarikan dari dokumentasi ceramah Habib Luthfi bin Ali bin Yahya pada Haul Pakisputih Kedungwuni Pekalongan, dialihbahasakan oleh Syaroni As-Samfuriy).

No comments:

Post a Comment

Khazanah Keilmuan Ulama Nusantara

Sebelum Islam masuk ke wilayah Melayu Nusantara, khazanah keilmuan yang terekam dalam berbagai naskah  hingga manuskrip masih dipengaruhi ol...