Monday, December 27, 2021

Khazanah Keilmuan Ulama Nusantara

Sebelum Islam masuk ke wilayah Melayu Nusantara, khazanah keilmuan yang terekam dalam berbagai naskah  hingga manuskrip masih dipengaruhi oleh budaya non-Islam. Naskah dan manuskrip yang ditulis pada daun lontar, bambu, kulit kayu tersebut pada umumnya ditulis oleh para pujangga untuk kepentingan kerajaan. Di antaranya berisi tentang adat, kebiasaan, mantera, doa, ajaran kepercayaan, hingga tentang budi pekerti.  Namun kondisi khazanah keilmuan mulai  berubah setelah Islam masuk pada abad ke-XIII M. Akulturasi budaya lokal dan Islam pada gilirannya, mempengaruhi corak dan ragam pengetahuan yang terekam disejumlah media penyimpanan, semacam naskah atau manuskrip. Kandungan atau isinya terdiri dari pelbagai disiplin ilmu agama, sesuai dengan misi para pendakwahnya. 

Dari beberapa periode sejarah masuknya Islam di Nusantara beberapa abad, terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan naskah ulama Nusantara yang menghimpun berbagai macam pengetahuan. Diantara ilmu kalam (teologi), politik, fikih, filsafat,  tasawuf, hadist, tafsir, tata negara, hingga pengetahuan sosial kemasyarakatan. Selain menulisnya dengan bahasa Arab, sejumlah ulama juga menggunakan bahasa yang dipakai penduduk setempat. Misalnya  ulama Sumatera menulisnya dengan bahasa Melayu, ulama Jawa dengan bahasa Jawa Pegon, dan ulama Bugis dengan bahasa Bugis. Begitu juga dengan ulama lain yang berasal dari Sunda, Banjar, hingga Nusa Tenggara. Salah satu ulama yang disebut-sebut mengawali menulis manuskrip kitab berbahasa lokal Melayu klasik adalah Syaikh Nuruddin Al-Raniri (1054 H./1644 M.). Nama kitabnya As-Shirath Al-Mustaqim, kitab fikih mazhab Imam Syafi’i. Kitab ini dipercaya sebagai yang terlengkap dalam bahasa Melayu beraksara  Arab/Jawi dan sangat legendaris dalam sejarah  keilmuan Islam di Nusantara. Syaikh Nuruddin berasal dari Ranir atau Rander, Gujarat India. Beliau datang ke Aceh pada tahun 1637 dan mengajar  di Kesultanan Aceh,  serta didaulat menjadi mufti dan penghulu kesultanan pada masa Sultan Iskandar Tsani yang memerintah pada 1636-1641M. Al-Raniri dalam menyusun karyanya,  merujuk pada sumber  kitab fikih mazhab Imam Syafi’i. Diantaranya Minhajut Thalibin,  dan Manhaj Thullab.   

Tradisi intelektual Al-Raniri kemudian dilanjutkan muridnya, Syaikh Abdul Rauf Al-Singkili (1074 H./1663 M.). Beliau menulis kitab fikih mazab Imam Syafi’i yang diberi nama Mir’at Al-Tullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab. Kitab ini disebut terlengkap kedua  setelah kitab fikih Al-Raniri sekaligus sebagai penyempurna dan pelengkap. Kitab Mir’at Al-Tullab berisi kajian lengkap tentang fikih muamalah menurut madzhab Syafi’i dan menjadi rujukan  utama  undang-undang perdata dan pidana Kesultanan Aceh.Tradisi intelektual Syaikh Abdul Rauf Singkili dilanjutkan muridnya, Syaikh Faqih Jalaluddin Aceh dengan menulis kitab  Umdah Al-Ahkam yang berbahasa Melayu Klasik. Selanjutnya muncul generasi berikutnya,  yaitu Syaikh Arsyad al-Banjari  yang mengarang kitab Sabil al-Muhtadin, juga berbahasa Melayu Klasik dan Syaikh Dawud Pattani dengan kitab Sullam al-Mubtadi berbahasa Melayu. Sebelumnya, pada tahun 1603 M., kitab Taj Al-Salatin juga selesai ditulis, ketika kesultanan Aceh dipegang Sultan Sayyidil Al-Mukammil (1588-1604 M.). Kitab berbahasa Melayu yang bermakna Mahkota Segala Raja-Raja ini karangan Bukhari Al-Jauhari. Ada yang menyebut dia adalah penulis parsi dari wilayah Bukhara, ada pula yang mengatakan dia berasal dari Johor yang tinggal di Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda. Kitab Taj Al-Salatin berisi nilai-nilai keagamaan yang menjadi pedoman untuk raja-raja yang memerintah kala itu. Begitu populernya kitab ini sehingga tidak hanya digunakan di Aceh saja, tapi juga di semenanjung tanah melayu dan juga dikalangan kraton di Jawa. 

Perkembangan naskah keilmuan Islam makin massif  terjadi pada pertengahan abad ke-XIX, ketika sejumlah ulama Melayu Nusantara, khususnya dari Jawa, pulang dari pengembaraan intelektualnya di jazirah Arab. Ratusan khazanah keilmuan dari berbagai disiplin ilmu pada medium yang bernama kitab turats makin tersebar, dan dijadikan referensi serta  kurikulum diberbagai pesantren di Nusantara.  Singkatnya, mata rantai keilmuan keislaman Melayu Nusantara  bersambung dengan tradisi intelektual di dua tanah suci, Makkah dan Madinah. 
Bersambungnya sanad keilmuan ulama Melayu Nusantara ini, mengutip KH Maimoen Zubair dalam pengantar pada buku Masterpiece  Islam Nusantara, bermula setelah Syaikh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 973 H./1566 M.) mengabdikan diri di Masjidil Haram untuk mengamalkan ilmunya. Halaqah keilmuan yang ramai di Masjidil Haram ini, pada akhirnya memunculkan sosok  Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.

Diantara murid Syaikh Zaini Dahlan ini yang masyhur adalah Sayyid Abu Bakar Syatha (1266 H/1849 M), pengarang kitab I’anatu al-Thalibin syarah Fath al Mu’in karya Al-Malibary.  Pada Sayyid Abu Bakar Syatha inilah para ulama Melayu Nusantara pada berguru dan mencecap semua ilmunya. Di antaranya Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Mahfudz Termas, KH Sholeh Darat, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad al-Fathani, Tuan Hussin Kedah, Datuk Ahmad Brunei, Syaikh Ustman Sarawak, Syaikh Ustman bin Aqil Betawi,  dan masih banyak lagi. Bisa dibilang, Sayyid Abu Bakar  Syatha ini gurunya ulama Melayu Nusantara. Berdasar kitab Tasynif al-Asma’ bi Ijaza al-Syuyuh wa al-Asma’ karangan Syaikh Mahmud al-Mashri, salah satu murid terdekat Syaikh Yasin al-Fadani, lebih dari 30 ulama asal Melayu Nusantara yang pernah belajar dan berkarir di Masjidil Haram. Pada masa Sayyid Abu Bakar Syatha, keberadaan ulama Melayu Nusantara di Makkah memiliki peran strategis. Mereka tidak hanya mencapai taraf intelektual terkemuka  di Timur Tengah, khususnya di kawasan Hijaz, tapi juga berperan dalam proses transmisi Islam dan ketersambungan sanad ke Nusantara.  Bukan hanya itu, para ulama Melayu Nusantara juga pada akhirnya diakui sebagai peletak pondasi pertumbuhan pesantren di Nusantara. Dari tangan para ulama ini juga terbit beberapa kitab rujukan dunia Islam. 

Syaikh Nawawi al-Bantani misalnya, ulama yang lahir di Tanara Serang Banten  pada tahun 1230 H./1813 M. ini, sedikitnya telah menulis 115 lebih kitab dalam bahasa Arab yang meliputi tauhid, fikih, tasawwuf, tafsir dan hadist. Diantara karyanya yang populer di pesantren adalah Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi dalam bidang tasawuf. Sementara dalam ilmu fikih ada Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, dan Kasyifah al-Saja. Kealiman dan produktifitas dalam menulis inilah yang membuat Syaikh Nawawi al-Bantani mendapatkan gelar Sayyid  al-Ulama al-Hijaz (pemimpin ulama Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (imam yang mumpuni ilmunya), dan  Imam Ulama al-Haramain ( (Imam 'Ulama dua kota suci).  Ulama Nusantara yang belajar ke Tanah Suci pada abad pertengahan hingga akhir abad ke-XIX M. hampir pasti pernah belajar ke Syaikh Nawawi al-Bantani. Para muridnya yang kembali ke tanah air tersebar di berbagai penjuru Nusantara dan berkutat dalam dunia pesantren. Hingga kini, hampir pasti tidak ada satu pun pesantren yang tidak mengkaji dan  bersentuhan dengan karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani. 

Tradisi intelektual Syaikh Nawawi juga  dilanjutkan muridnya , yaitu Syaikh Mahfudz al-Tarmisi, yang menulis kitab Hasiyah al-Tarmasi dalam bahasa Arab. Juga  dilanjutkan sahabatnya, Sayyid Ustman Batavia dengan kitabnya Irsyad al-Anam dalam bahasa Melayu dialek Betawi, dan Syaikh Sholeh Darat dengan kitabnya Majmu’ah al-Syarifah dalam bahasa Jawa. Tradisi intelektual dan produktifitas menulis kitab ini dilanjutkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rais Akbar Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Diantara sejumlah karya Syaikh Hasyim Asy’ari, ada lima karyanya yang paling melegenda. Yaitu Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah, Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin, Adab al-alim wal Muta'allim, Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan dan  Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab yang terakhir itu pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar beliau tentang Nahdlatul Ulama.

Ada yang menarik pada literasi keilmuan Islam di Melayu Nusantara. Karya-karya unggulan tersebut tidak hanya ditulis oleh ulama Nusantara saja, tetapi juga ditulis ulama yang berada di luar Nusantara, tapi membahas permasalahan keislaman yang berkembang di Nusantara. Misalnya Al-Jawabat al- Gharawiyyah li Al-Masail al-Jawiyyah al- Juhriyyah yang ditulis Syaikh Ibrahim Kurani (1070 H./1659 M.). Kitab ini berisi fatwa untuk masalah Islam Nusantara pasca Walisongo.  Isinya berisi fatwa Syaikh Ibrahim atas lima permasalahan yang dikemukakan oleh umat Islam Nusantara dari wilayah Johor. Syaikh Ibrahim al-Kurani ini juga bisa disebut  ulama sentral dunia Islam yang berkedudukan di Madinah. Di antara muridnya ada nama  Syaikh Abdul Rauf al-Syingkili dan Syaikh Yusuf al-Makassari, ulama asal Makasar yang diasingkan Belanda hingga akhirnya meninggal di Afrika Selatan. 

Sumber Pustaka:   

A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, Jakarta: 2017.  

Zainul Milal Bizawi, Masterpice Islam Nusantara, Jakarta: 2016.

 


 


No comments:

Post a Comment

Khazanah Keilmuan Ulama Nusantara

Sebelum Islam masuk ke wilayah Melayu Nusantara, khazanah keilmuan yang terekam dalam berbagai naskah  hingga manuskrip masih dipengaruhi ol...