Tebus Weteng tersusun dari dua kata, yaitu yang pertama "tebus" sama makna dengan menebus, dalam KBBI artinya mengambil kembali yang telah digadai. Kata berikutnya adalah "weteng" sama dengan perut yang berarti bagian tubuh yang terletak dibawah rongga dada. Didalamnya, berisikan rahim, pencernaan makanan, dan lainnya. Jika digabungkan, tebus weteng berarti menebus rahim (perut) istri dengan amal kebaikan, untuk digunakan sebagai tempat penghidupan janin buah hati. Makanya, ritual tebus weteng (walimah al-haml) pun dilaksanakannya dengan sakral. Tebus Weteng merupakan tradisi budaya masyarakat Tegal, dan sekitarnya.
Dalam perkembangannya, untuk teknis pelalaksanaanya, dari tiap daerah atau wilayah memiliki karakter masing-masing. Ada yang dengan membuat rujak, atau membuat ilustrasi bayi pada buah labuh/pepaya, dan Sang Ibu dimandikan dengan tujuh rupa bunga, dan seterusnya. Demikian itu, hanyalah mekanisme dari acara tebus weteng, yang tentunya dilinearkan dengan kemampuan dari finansial orangtuanya. Namun, subtansinya adalah pemanjatan doa kepada Sang Khaliq untuk sang janin, dan ibunya. Supaya Sang Ibu diberikan keselamatan, kesehatan, dan anaknya kelak menjadi anak yang sholeh/sholehah. Hal tersebut, juga dilakukan sebagai pengejawantahan rasa syukur keluarganya kepada Allah Swt. Selaras juga, dengan firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ
Puncak dari ritualnya adalah dengan mengumpulkan keluarga, handaitaulan, dan tetangganya, untuk bersama-sama membacakan Surat Munjiyat (al-Kahfi, as-Sajdah, Yasin, ad-Dukhan, ar-Rahman, al-Waqi’ah, dan al-Mulk), pembacaan rawi Nabiyullah Muhammad Saw, Dzikir, Tahlil, dan Do'a. Hal tersebut dilakukan, sebagai rasa syukur atas anugrah dari Allah Swt yang telah memberikan kepercayaan, berwujud anak. Dimana kedepannya, akan menjadi estafet kehidupan bagi kedua orangtuanya.
Tebus weteng (Walimah al-Haml) merupakan hasil karya dakwah dari para Wali Songo, yang mengakomodir kearifan dari budaya lokal (Jawa). Dikutip dari Al-Jami’ ash-Shaghir 2179, menjelaskan bahwa “Sesungguhnya kejadian terciptanya kalian dikumpulkan di perut ibunya dalam empat puluh hari sebagai mani, kemudian menjadi segumpal darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Lalu Allah memerintahkan malaikat melakukan empat hal; pertama tulislah amalnya, kedua rizkinya, ketiga ajalnya, keempat rugi atau beruntung. Kemudian ruh ditiupkan kepadanya. Sebab seseorang dari kalian sungguh akan beramal seperti ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga tinggal satu jengkal, (namun) ia telah didahului kepastian takdir sehingga beramal seperti ahli neraka, maka ia masuk neraka. Dan seseorang dari kalian sungguh akan beramal seperti ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal satu jengkal, (namun) ia telah didahului kepastian takdir sehingga beramal seperti ahli surga, maka ia masuk surga." (Muttafaq Alaih dari Ibn Mas’ud, Shahih).[1]
F. Rene Van de Carr, M.D. berpendapat, "Anak dalam kandungan dapat belajar atau mempelajari kata-kata yang diucapkan orang tuanya." Ketika orang tuanya mengajarkan kata-kata kepada bayi dalam kandungannya, ia hanya mendengarkan bunyinya sambil mengalami sensasi tertentu. Kombinasi bunyi dan pengalaman ini memberi kesempatan bagi anak dalam kandungan untuk belajar memahami hubungan tentang bunyi dan sensasi pada tingkat pengenalan pra-verbal. Keistimewaan pendidikan anak dalam kandungan merupakan hasil dari sebuah proses yang sistematis dengan merangkaikan langkah, metode dan materi yang dipakai oleh orang tuanya dalam melakukan pendidikan (stimulasi edukatif), dan orientasi serta tujuan ke mana keduanya mengarah dan mendidik.
Bahkan ajaran Islam, pendidikan pra-lahir ini hendaklah dimulai sejak awal pembuahan (nuthfah), memulai dan melakukan hubungan biologis secara sah dan baik, serta memanjatkan doa kepada Allah Swt agar dikaruniai seorang anak yang baik. Kemudian setelah adanya proses nuthfah, atas kehendak (irodat) Allah proses tersebut, berlanjut menjadi mudhghah. Pada fase inilah tampak jelas adanya kehidupan seorang anak dalam rahim.
Perlakuan yang baik itu, diantaranya memberikan pelayanan yang tepat terhadap anaknya yang masih dalam kandungan, tidak melakukan tindakan kekerasan yang menimbulkan dampak negatif, baik fisik maupun psikis terhadap anak dalam kandungan. Karena hal tersebut, sangat berbahaya bagi buah hati yang dirahim. Seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah Muhammad Saw dalam sabdanya,
"Anak yang celaka adalah anak yang telah mendapatkan kesempitan di masa dalam rahim ibunya." (H.R. Imam Muslim dari Abdullah Ibn Mas'ud).
"Anak yang celaka adalah anak yang telah mendapatkan kesempitan di masa dalam rahim ibunya." (H.R. Imam Muslim dari Abdullah Ibn Mas'ud).
Praktek memberikan stimulus pendidikan anak dalam kandungan telah dilakukan jauh sebelum teori dan praktek di atas dikembangkan. Nabi Zakaria A.s telah memberikan stimulasi pendidikan pada anak pra-lahir. Sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. Maryam: 10-11
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
Artinya: "Bersabda Nabi Zakaria A.s " Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tandanya." Berfirman Allah Swt., "Tandanya bahwa engkau tiada bercakap-cakap dengan manusia tiga malam, sedang engkau masih sehat." Lalu Nabi Zakaria A.s keluar dari mihrab (tempat sholat), dan diisyaratkan kepada mereka, "Sholatlah kamu pada pagi dan petang."
Pelayanan stimulasi pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Zakaria A.s telah membuahkan hasil yang baik. Yakni anak yang memiliki kecerdasan tinggi dalam memahami hukum-hukum Allah, terampil dalam melaksanakan titah Allah Swt, memiliki fisik yang kuat, sekaligus anak yang berbakti kepada orang tuanya. Hal tersebut, berbanding lurus dengan Kalamullah dalam Q.S. Maryam: 12-15
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا وَسَلامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
Begitu juga dengan Nabi Adam A.s, tatkala istrinya St. Hawa mengandung anak pertamanya. Pada saat kandungan yang masih muda/ringan, beliau merasa biasa saja berjalan seperti sedia kala, merasa tidak ada beban. Namun, tatkala usia kandungan itu bertambah/tua, yang ditandai dengan perut yang terus membesar, disitulah beliau merasakan kepayahan dan keberatan. Saat itulah, St. Hawa dengan sedih mengadu kepada suaminya. Kondisi ini, membuat Rasulullah Adam A.s dan istrinya, bersama-sama memohon kepada Allah Swt dengan sebuah doa yang sangat filosofis, yaitu;
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Artinya: "Dia yang menjadikan kamu dari diri (bangsa) yang satu; kemudian dari padanya Allah jadikan istrinya, supaya ia bersenang hati kepadanya. Setelah ia bersetubuh dengan istrinya, lalu istri itu mengandung dengan kandungan yang ringan. Beberapa waktu kemudian, setelah kandungannya mulai membesar, keduanya berdoa kepada Allah Swt, "Tuhan, jika Engkau memberi kami anak yang baik, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S. al-A'raf: 189) [3]
Walimah al-Haml juga merupakan runtutan dari praktek pendidikan anak dalam kandungan, yang dilakukan secara konvergensi antara suami, istri dan kelurganya. Dengan kesamaan visi dan misi, yaitu orientasi pendidikan yang bersumber pada motivasi untuk memurnikan keesaan Allah Swt semata. Selain dari sisi sosiologi juga sangat baik, karena mempererat tali silaturrahim antar keluarga, kerabat, dan tetangga yang disekitarnya.
[1] KH. Marzukqi Mustamar, Amaliyah Nahdliyah (Surabaya: Muara Progresif, 2014), h. 141
[2] Mahmud Yunus, Tarjamah al-Quran al-Karim (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1998), h. 276
[3] Ibid, h. 158
No comments:
Post a Comment