Dalam penilaian saya, semua ajaran membuat penganutnya bertambah dan berkembang dalam berpikir. Bukan sebaliknya, penganut suatu ajaran malah dikekang oleh faham yang dianutnya. Seyogianya suatu ajaran bersifat tengah-tengah (tawazun). Karena hakikat suatu ajaran itu sifatnya netral, berfungsi sebagai filter atau penyeimbang. Tidak diletakkan sebagai variabel pembenaran atau pembelaan dalam upaya menguatkan kepentingan.
Saat kita di daratan, kemudian melihat keatas, maka akan tampak langit berwarna biru dan putih. Akan tetapi, saat kita naik pesawat terbang dan berada diketinggian tertentu (diatas awan), maka langit akan terlihat berwarna biru. Begitu juga saat kita di pesawat (malam hari) dan melihat ke daratan, yang terlihat hanyalah cahaya dari lampu-lampu. Padahal kita memahami betul, kalau di darat banyak aktifitas kehidupan, apalagi malam hari di kota-kota besar, hiruk-pikuk orang pulang kerja, atau orang yang kerjanya malam hari (pembisnis kuliner malam atau pedagang pasar malam), sangatlah ragam aktifitasnya. Daratan bukan hanya sorotan sinar lampu saja, tapi beraneka ragam makhluk Tuhan melakukan aktifitasnya. Penilaian orang yang demikian, apakah keliru? tidak juga, itulah wujud dari keterbatasan panca indra manusia.
Hal yang demikian, sebenarnya sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari.
Mayoritas dari kita, melihat sesuatu hanya dari mana kita melihatnya, tanpa mau memahami bagaimana melihat sesuatu dari kaca mata Pemilik Alam Semesta. Terkadang Tuhan-pun diakui hanya milik diri kita sendiri, atau golongan kita, yang efeknya menganggap seolah-olah Sang Pencipta itu lebih dari satu, dan Tuhan miliknya lah yang paling benar.
Dalam ajaran Islam, tidak pernah memerintahkan seseorang untuk menghitung-hitung pahala dalam melakukan rutinitas ibadahnya, takut akan intimidasi neraka, atau legitnya fasilitas di syurga.
Kebaikan yang dilakukan antar sesama, dilakukan karena kesadaran kosmik untuk dirinya dan memuliakan makhluk ciptaan-Nya. Kebaikan (kamaslahatan) yang diperbuat kepada sesama merupakan asupan untuk dirinya sendiri, terlebih kaitannya dengan manusia sebagai makhluk sosial. Hakikatnya adalah kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang dilakukan kepada orang lain, akan kembali untuk dirinya sendiri. Begitu juga sebaliknya, setiap laku kejahatan akan berbuah kejahatan. Andaikan kita demen memperkeruh atau mempersulit sesama, maka dalam urusan-urusan pribadi akan kerap mendapatkan kesulitan. Hal tersebut, berbanding lurus dan termaktub dalam Q.S Al-Isra: 7
"ان احسنتم احسنتم لانفسكم وان اسا تم فلها"
Arinya; "Jika kamu berbuat kebaikan, maka sesungguhnya kamu berbuat baik bagimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) tersebut untuk dirimu sendiri"
Tabiat mengharap, juga mengkalkulasi ganjaran terhadap setiap perbuatan baik, hanya akan menjadikan keikhlasan seseorang menjadi berkurang. Hal demikian, mencerminkan karakter yang serakah, picik, dan tidak tahu diri. Mengingat, penghambaan kepada Sang Khaliq adalah kewajiban manusia (fardlu 'ain), bukanlah merupakan kebutuhan Tuhan.
Salat bagi umat muslim, adalah hadiah Allah Swt kepada umat Baginda Nabi Muhammad Saw untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Salat juga sebagai prasarana untuk mengungkapkan rasa bersyukur kepada Tuhan Semesta.
Selanjutnya, perilaku muslim selepas salat hendaknya merupakan implementasi dan artikulasi dari salat yang ditegakkan, dalam bentuk perbuatan atau laku baik kepada sesama, dan makhluk-Nya. Apabila Tuhan memberikan kesehatan, maka sebagai wujud rasa syukurnya adalah membantu, dan menolong orang lain yang sedang membutuhkan atau menderita.
Presepsi yang menjadi pondasi spiritual dalam penghambaan kepada Tuhan, atau berlaku baik kepada makhluk ciptaan-Nya, tidaklah suatu perintah yang datang dari Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang membutuhkannya.
No comments:
Post a Comment