Thursday, September 6, 2018

Lentera Tegal

Kiai Said adalah buah hati dari pasangan KH. Armia dengan Nyai Aliyah. Beliau lahir di kaki gunung slamet, tepatnya di Desa Cikura, Kec. Bojong, Kab. Tegal, Jawa Tengah. Dari kecil hingga akhir baligh, hidup dilingkungan pesantren ayahnya. Sehingga Kiai Said menjadi penerus dakwah orangtuanya, KH. Armia bin KH. Kurdi. Selain melanjutkan nahkoda di Pondok Pesantren Attauhidiyyah Cikura (1880 M), Kiai Said juga mengembangkan dakwahnya, di daerah pertengahan wilayah Tegal, dengan mendirikan Ponpes Attahuidiyyah Giren, Kec. Talang, Kab. Tegal.

Kurikulum yang diajarkan di Pondok Pesantren Attauhidiyyah, lebih dominan pada pematangan aqidah yang bercorak ahlussunnah wal jama’ah. Biarpun demikian, disiplin ilmu syariat dan ilmu alat, tetap diajarkan di pesantren tersebut. Kiai Said mengejawantahkan dalam setiap pengajian tauhidnya, dengan selalu merujuk pada kitab Hasyiyah Ad Dasuqi karya Syaikh Muhammad Ad-Dasuqi. Yang menjelaskan kitab Ummu Al-Barahin, salah satu master piece ilmu tauhid, buah karya dari seorang ulama besar bernama Al-Wali As-Shalih As-Syaikh Abi Abdillah Muhammad ibn Yusuf As-Sanusi R.a, atau yang sering dikenal dengan nama Imam Sanusi R.a. Dengan menggunakan metode ceramah dalam penyampaiannya, dan santri-santrinya dianjurkan menghafal kitab-kitab yang dikajinya.

Dalam kitab ‘Aqa’id Al-Din Juz 1 hal. 5-6, Kiai Said memaknai dua kalimat Syahadat sebagai berikut, “Nakseni ingsun, lan naiqadaken ingsun, kelawan ati ingsun, ing satuhune kelakuan iku ora nan dzat kang wajib den sembah kelawan haq, ing dalem wujude anging Allah. Allah kang wajib anane kang muhal ora nanane, kang wus agawe Allah ing pitung langit, lan pitung bumi lan seisine pisan, lan kang murbamesesa Allah ing makhluq kabeh. Lan malih nakseni ingsun, lan naiqadaken ingsun, kelawan ati ingsun, ing satuhune Kanjeng Nabi Muhammad iku dadi utusane Allah, lan dadi kaulane Allah. Kanjeng Nabi Muhammad iku wong lanang, wong merdeka, wong Arab, anak putu Nabi Adam A.s. Ramane Kanjeng Nabi Muhammad iku Kiai Abdullah, Ibune Kanjeng Nabi Muhammad iku Siti Aminah, Kiane Kanjeng Nabi Muhammad, Kiai Abdul Muthalib. Buyute Kanjeng Nabi Muhammad, Kiai Hasyim. Canggahe Kanjeng Nabi Muhammad, Kiai abdul Manaf. Den utus kanjeng Nabi Muhammad maring sekabehane menungsa, lan jin, lan malaikat. Kautus Kanjeng Nabi Muhammad nekaaken ilmu syariat, thoriqat, hakikat. Yaiku rukun Islam, lan Iman, lan Ihsan. Ridla ingsun dipengerani, pangeran Allah. Ridla ingsun digusteni, gusteni kita Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Ridla ingsun diagamani, agama Islam, agama kang luwih jejek bener. Ridla ingsun dipanutani, panutan kitab Qur’an awal wajib ‘alal insan.” Para santri di Ponpes Attauhidiyyah, diwajibkan hafal makna dua kalimat syahadat tersebut. Harapannya, santri setelah hafal akan memaknai lebih dalam sendiri, selaras presepsi nalarnya, serta tertanam ketauhidan yang kuat pada diri santri.

Banyak literasi yang menyatakan Kiai Said sangat zuhud dunya, dan teramat wara dalam menjalani kehidupan. Sekelas Kiai Said, jika mengharapkan fasilitas dari Pemda Kab. Tegal, atau bantuan dari murid-muridnya, tentulah tidak sulit. Akan tetapi, hal tersebut tidak dimanfaatkan oleh Kiai Said. Beliau lebih mengaplikasikan apa yang diajarkan terhadap santri-santrinya, diterapkan juga pada kehidupan dirinya, istri, dan keluarganya. 

Hikayat yang sudah membumi dikalangan pesantren, bahwa karena keterbatasan dalam finansial untuk membiayai kebutuhan keluarga dan pondoknya, Sang Istri saat berada di tempat cucian, melamun sambil memegang gayung untuk mengambil air dari dalam kolam. Dia membatin dalam hatinya, “Ya Allah, aku ingin memiliki emas.” Seketika itu juga gayung yang dipegang berubah menjadi emas. Kiai Said yang melihat kejadian tersebut menangis dengan penuh kesedihan, sambil mohon ampun kepada Allah Swt. dan berdoa, “Ya Allah ampunilah istri hambamu ini, yang mempunyai keinginan dunia dalam hatinya.” Seketika itu pula, gayung emas yang dipegang istrinya, berubah menjadi gayung seperti sedia kala. Sang istri yang melihat kedatangan suaminya, dan mendengar doa yang dipanjatkan suaminya, menjadi malu dan langsung berwudlu, serta menegakkan salat sunat taubat. 

Kezuhudan Kiai Said diajarkan langsung oleh ayahnya, Kiai Armia bin Kiai Kurdi yang berpesan jika kelak meninggal dunia, tidak perlu diadakan haul. Namun atas usulan Al-Habib Abdurrahman Bilfaqih yang mengusulkan untuk diadakan haul Kiai Armia. Alasannya tidak lain untuk mengenang perjuangan beliau dalam menyiarkan tauhidullah , akhirnya sampai sekarang haul beliau selalu ramai dikunjungi umat Islam dari dalam dan luar negeri.

Kemakrifatan Kiai Said kepada Allah Swt., diakui juga oleh para Guru Mursyid Tarekat. Salahsatunya, Al-‘Allamah Syaikh Ali Basalamah (Mursyid Thariqat Tijaniyyah) dari Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, yang saat bersilahturahmi mendapati (dengan penglihatan batin) Kiai Said sedang mengajarkan Kitab Ummu Al-Barahin kepada santri-santrinya, ditemani oleh Sayyidul Wujud Baginda Nabi Agung Muhammad Saw. dan Al-Wali As-Shalih As-Syaikh Abi Abdillah Muhammad ibn Yusuf As-Sanusi R.a. 

Saat peringatan Haul ke 85 Syekh Armia dan Syekh Said (Selasa, 17 Oktober 2017), Habib Husein ibn Abdurrahman Al Habsyi dari Hadlramaut, dan Prof. Dr. Habib Abdullah ibn Muhammad Baharun (Rektor Universitas Al-Ahqaf ) dari Yaman, menyampaikan kepada jama’ah, bahwa Syekh Armia dan putranya Syekh Said merupakan salahsatu Waliyullah dari Tegal.

Karena ketauladanan dan keikhlasan Kiai Said, dalam mendidik santri-santrinya, tidak sedikit alumni pesantrennya yang menjadi ulama besar, bermanfaat bagi sesama, masyarakat dan berkontribusi bagi Negara Indonesia. Diantara santrinya, yaitu Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (Rois Am JATMAN), dan Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang).

KH. Said bin KH. Armia pulang ke rahmatullah pada tanggal 20 Rajab 1395 H atau tahun 1974 M, dan dikebumikan tidak jauh dari Pondok Pesantren Attauhidiyyah, Giren, Talang, Tegal. Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren, dilanjutkan oleh KH. M. Chasani Said, sedangkan Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyah Cikura, dimanejerialkan oleh KH. Ahmad Saidi. Jenjang pendidikan untuk santri mukim yaitu: Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Kejar Paket, dan STKIP. Bagi Santri non mukim, jenjang pendidikan yang diadakan mulai; Play Group, Awaliyah, Wustho, dan Ulya. Pembinaan akhlak terhadap masyarakat juga disentuh oleh Ponpes Attauhidiyyah, dengan mengadakan pengajian umum tiap malam ahad dan malam kamis di Giren. Sedangkan tiap malam selasa dan malam jumat di Attauhidiyyah Cikura. Pengajian rutin tahunan, dilakukan tiap tanggal 20 Rajab (Haul KH. Said bin KH. Armia), dan tanggal 27 Muharam (Haul KH. Armia bin KH. Kurdi).



No comments:

Post a Comment

Khazanah Keilmuan Ulama Nusantara

Sebelum Islam masuk ke wilayah Melayu Nusantara, khazanah keilmuan yang terekam dalam berbagai naskah  hingga manuskrip masih dipengaruhi ol...