Saturday, November 24, 2018

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI R.A

A. Riwayat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani R.a

Syekh Abdul Qadir Al-Jailaini r.a. dilahirkan tahun 470 H, atau bertepatan dengan tahun 1077 M, di Naif daerah Jailan (masyarakat Persia menyebutnya Kailan) Thabaristan, Iran. Jailan merupakan daerah gugusan perkampungan yang berada ditengah-tengah pegunungan Al-Buruz. Terbentang dari ujung utara sampai barat, di pesisir pantai selatan laut Qazwain, atau lazimnya dikenal masyarakat Timur Tengah, dengan Laut Putih Tengah di Iran.

Nasab Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dari jalur Ayahnya sampai kepada  As-Sayyid Al-Imam Al-Hammam Amir Al-Muminin Al-Hasan As-Sabth. Jalur nasabnya yaitu, Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir bin As-Sayyid Abu Shalih Musa Jankidust bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Yahya Az-Zahid bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Dawud bin As-Sayyid Musa bin As-Sayyid Abdullah Abu Al-Makarim bin As-Sayyid Musa Al-Jun bin As-Sayyid Abdullah Alam bin As-Sayyid Al-Hasan Al-Mutsanna bin As-Sayyid Al-Imam Al-Hammam Amir Al-Muminin Al-Hasan As-Sabth bin Al-Imam Al-Hammam Fakhr bin  Ghalib Amir Al-Mu’minin Sayyiduna Ali bin Abu Thalib r.a. Al-Hasan As-Sabth adalah putra As-Sayyidah Fathimah Az-Zahra Al-Bathul binti Sayyiduna wa Nabiyyuna Muhammad SAW.

Adapun Ibunda Syekh Abdul Qadir Al-Jailaini r.a. masih merupakan keturunan As-Sayyid Al-Imam Al-Hammam Sayyid Asy-Syuhada Abu Abdullah Al-Husain. Urutan nasabnya adalah As-Sayyidah Asy-Syarifah, permata keturunan Al-Husain r.a., Ummul Khair Fathimah r.a. binti As-Sayyid Abdullah Ash-Shaumi’i Az-Zahid bin As-Sayyid Abu Jamaluddin Muhammad bin As-Sayyid Mahmud bin As-Sayyid Abu Al-Atha Abdullah bin As-Sayyid Kamaluddin Isa bin Al-Imam As-Sayyid Abu Ala’udin Muhammad Al-Jawwad bin As-Sayyid Ali Ar-Ridha bin As-Sayyid Al-Imam Musa Al-Kazhim bin As-Sayyid Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq bin As-Sayyid Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin As-Sayyid Al-Imam Ali Zainal Abidin bin As-Sayyid Al-Imam Al-Hammam Sayyid Asy-Syuhada Abu Abdullah Al-Husain bin Al-Imam Al-Himmam Asadullah Al-Ghalib Muzhir Al-Aja’ib Fakhr bin Ghalib Amirul Mukminin.[1]

B. Pendidikan dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani R.a

Dalam mendidik anak-anaknya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. berwasiat sebagai berikut:

“Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya, janganlah kalian takut kepada selain Allah, serahkanlah semua kebutuhan kalian kepada Allah, mintalah segala sesuatu dari-Nya, janganlah kalian meyakini selain Allah, janganlah kalian bersandar kecuali kepada-Nya, hendaklah kalian mengesakan-Nya, mengesakan-Nya, dan mengesakan-Nya, karena pangkal dari sesuatu adalah tauhid, yakin kepada sifat-sifat Allah yang tertulis. Perintahkanlah dengan sifat-sifat seperti yang diwahyukan, hukum dapat berubah, sedangkan ilmu tidak berubah, hukum dihapus sedangkan ilmu tidak dihapus. Saya berwasiat kepadamu wahai anakku, bertakwalah kepada Allah dan menaatinya, istiqamalah pada syariat dan menjaga batasan-Nya. Ketahuilah, wahai anakku, bahwasanya tarekat kita dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, lapang dada, dermawan, saling bertegur sapa, tidak sombong, kuat menahan cacian, dan memaafkan atas kesalahan sesama saudara.”[2]

Apabila wasiat Syekh Abdul Qadir Jailani r.a. terhadap anak-anaknya diurai, maka akan ada beberapa outline, yaitu:

1. Bertakwa kepada Allah Swt. dan menaati-Nya

Dalam hal ini, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. dalam mendidik anak-anaknya menitik beratkan pada urusan pendidikan agama Islam, terutama tauhid atau takwa kepada Allah Swt. Takwa dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki makna, terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Aplikasi takwa tidak hanya dalam Masjid, Musholla, Majlis Ta’lim, ataupun saat berada dalam halaqah orang-orang shalih. Akan tetapi lebih pada subtansi ketakwaan itu sendiri. Rasa bertakwa kepada Allah SWT, hendaklah diterapkan pada segala kondisi dan keadaan, baik disaat banyak orang ataupun sedang sendirian. Saat berkumpul dengan orang shalih, ataupun dikala bersosial dengan orang-orang yang salah.

Apa yang diwasiatkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. kepada anak-anaknya, berbanding lurus dengan apa yang diwasiatkan Rasulullah Muhammad Saw. disaat akan meninggal dunia. Panutan atau uswah umat manusia, Nabi Muhammad Saw. saat mau meninggal yang ditanyakan adalah “umatku… umatku… umatku, berpegang teguhlah pada Al-Qur’an dan Sunnahku, …” Beliau mengkhawatirkan ketakwaan umatnya. Rasulullah Saw. tercatat dalam sejarah, sebagai insan kamil dan khalilullah yang wafatnya tidak meninggalkan hal-hal yang relepasinya dengan duniawi.

2. Jangan Takut kepada Selain Allah Swt.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. mendidik anak-anaknya, supaya tidak takut kepada selain Allah Swt. Hal ini sesuai dengan presepsi dari Ibnu Atha’illah Al-Iskandari, yang menyatakan bahwa “Alam ini ada dengan penetapan Allah Swt., dan alam lenyap dengan keesaan dzat-Nya.”[3] Alam semesta memiliki sifat wujud dengan penetapan Allah Swt. terhadapnya, atau dengan penampakan-Nya di dalamnya. Ketetapan alam semesta bersifat relatif, karena tidak ada yang mutlak, kecuali Allah Swt.

Manusia yang hanya melihat kepada keesaan dzat Allah, maka ia tidak akan mendapati alam semesta ini tetap dan berwujud. Alam memiliki sifat tetap dengan memandang kepada keesaan-Nya. Orang-orang sufi berpandangan, bahwa keesaan maknanya adalah kemurnian, kemutlakan, dan keterbebasan dari penampakan pada alam semesta. Keesaan dalam arti, berbeda dengan ke-satu-an, karena kesatuan adalah penampakan dzat yang lahir di alam semesta. Sehingga alam semesta menjadi ada berdasarkan adanya Yang Maha Haq. Para Sufisme, mengibaratkan, “Keesaan umpama lautan tanpa gelombang, sedangkan kesatuan umpama lautan dengan gelombang.”

Dengan demikian, kenapa manusia harus takut kepada sesama manusia? padahal kita semua sama-sama makhluk ciptaan-Nya. Kita diciptakan Allah Swt. sama-sama dengan dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, ada mulut, hidung, dan patologi tubuh yang sama lainnya. Air yang diminum sama, oksigen yang dihirup juga sama, sama-sama bisa melihat pepohonan, lautan, pegunungan, awan, dan lainnya. Sebagai manusia, kita sama-sama memiliki emosi, rasa sedih, sama-sama bisa menangis, sama-sama bisa merasakan lapar, sama-sama memiliki rasa kasih sayang, serta juga benci. Yang membedakan dihadapan Allah Swt., hanyalah kadar ketakwaannya. Sebagaimana difirmankan dalam surat Al-Hujarat: 13

“Inna akramakum ‘inda Allah atqakum

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah, adalah orang yang paling taqwa diantara kamu”

3. Meminta dan Menyerahkan Kebutuhan kepada Allah Swt.

Selama manusia masih bernafas, persoalan hidup selalu ada. Entah itu seorang Guru atau murid, pejabat atau masyarakat, al-ghani atau pun al-faqir. Di zaman sekarang, seringkali manusia mudah berkeluh kesah permasalahan hidupnya di media sosial, harapannya dapat perhatian dari teman atau kerabatnya. Padahal, cara tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan, justru hanya sia-sia belaka. Bagaimana mungkin kita mengadu kepada insan yang sudah pasti memiliki permasalahan hidup juga, atau tidak berdaya? yang tepat adalah mengadu dan berserah kepada Yang Maha, Allah Swt.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. dalam mendidik anak-anaknya, sesuai dengan pandangan dari Ibnu Atha’illah Al-Iskandari yang berpresepsi bahwa, “Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang do’amu, membuatmu putus asa. Karena Allah menjamin pengabulan do’a sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”[4]

Dalam hadits qudsi, dari Sahabat Salman Al-Farisi r.a. berkata, Rasulullah Muhammad Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman:

“Idza taqarrabu ilayya al-‘abdu syibran taqarrabtu ilaihi dzira’an, wa idza taqarraba ilayya dzira’an taqarrabtu minhu ba’an, wa idza atani masyian ataituhu harwalatan.”

Artinya: “Jika hamba mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal, Aku mendekatinya satu dzira. Dan jika hamba mendekatkan diri kepada-Ku satu dzira, maka Aku mendekatinya satu hasta. Dan jika mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya sambil berlari.”

Regulasi untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, idealnya adalah; berdo’a dengan tawadzu kepada Allah, berusaha dengan rasional juga optimal, dan hasil akhir diserahkan sepenuhnya kepada Allah Swt.

4. Mengesakan Allah Swt.

Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H.), seorang faqih dari Iraq yang terkenal sebagai salah seorang tokoh yang mempunyai kelebihan dari segi kepintaran juga kemurahan hati, mendefinisikan iman sebagai pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Sedangkan Syekh Abdul Qadir Jailani r.a memasukkan realisasi dengan anggota badan, seperti definisi Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.[5]

“Wa na’tiqad inna al-iman qaul bi-lisan wa ma’rifat bil-jinan wa ‘amal bil-arkan yazidu bi-tha’at wa yanqash bil-‘ashyan.”

Wasiat Syekh Abdul Qadir Jailani r.a. kepada anak-anaknya untuk mengesakan Allah Swt., diulang tiga kali. Hal tersebut, dimaksudkan karena iman seorang muslim sangat labil. Ada kalanya iman seseorang bisa bertambah dengan ketaatan, serta iman seseorang bisa juga berkurang dengan berbuat maksiat.

Selain mengimani atau mengeesakan kepada Allah Swt., sebagai muslim juga diharamkan untuk menyekutukan-Nya. Karena menyekutukan atau berbuat syirik kepada Allah Swt., termasuk amaliah yang tergolong dosa besar. Bahkan dalam hadits qudsi dijelaskan, dari Abu Hurairah r.a.  bahwa:

“Rasulullah Saw. bersabda, “Pada hari Senin dan Kamis pintu-pintu surga dibuka; diampuni tiap-tiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, kecuali laki-laki yang ada permusuhan, kebencian antara dia dengan saudaranya. Maka dia dikatakan, ‘Akhirkan (tunda) pahala dua orang ini hingga keduanya berdamai. Akhirkan (tunda) pahala dua orang ini hingga keduanya berdamai.’” [6]

5. Istiqamah pada Syariat

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. merasakan getir dan susahnya bersyariat dalam menuntut ilmu. Hal tersebut disebabkan susahnya kehidupan pada masa itu, serta kondisi politik yang tidak kondusif. Beliau menghabiskan waktu tiga puluh tahun untuk mendalami ilmu agama, baik yang ushul maupun furu’. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. juga merasakan sulit, dan sempitnya hidup karena habisnya modal atau bekal yang dimilinya saat menuntut ilmu. Bahkan, seolah-olah kematian sudah menjemputnya, saat beliau tersungkur di pinggir masjid yasin di pasar Raihan, Baghdad, Iraq, karena menahan lapar.

Terkait dengan ketauladanan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. beristiqamah dalam bersyariat, disampaikan juga oleh Sulthan Al-Ulama Izzuddin bin Abdussalam bahwa, “Tidaklah sampai kepada kami riwayat yang mutawatir mengenai keramat para wali, kecuali keramat yang dimiliki oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. Pasalnya, beliau adalah orang yang selalu waspada dan berpegang teguh pada hukum-hukum syariat. Bahkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. megajak orang-orang agar berpegang teguh pada syariat dan menentang setiap pelanggaran syariat. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. adalah orang yang tekun beribadah dan bermujahadah. Beliau juga memadukan dalam kesibukannya beribadah dengan hubungan-hubungan lain yang bersifat manusiawi, seperti berhubungan dengan istri dan anak-anak. Jika metode seperti ini yang beliau tempuh, sudah pasti beliau adalah wali yang kesempurnaannyamelebihi para wali lainnya. Karena, yang demikian ini adalah sifat dari pemilik syariat, Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan ini pula beliau berkata,’Kedua telapak kakiku ini berada di atas setiap lutut para wali Allah.’”[7]

6. Bertarekat dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits

Tarekat secara termilogi berasal dari kata “thariqah” yang memiliki arti jalan. Sedangkan para Ulama berpendapat tarekat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada, serta berhati-hati ketika beramal ibadah. Seorang ahli tarekat tidak begitu saja melakukan rukhshah dalam menjalankan rupa-rupa ibadahnya. Amal ibadahnya selalu berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits, atau dengan kalimat lain, disebut juga tertib syari’at. Adapun kebolehan rukhshah dalam beribadah, para ahli tarekat sangat berhati-hati saat melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu, dinamakan juga sifat wara’.

Imam Al-Ghazaly membagi sifat wara’ dalam empat bagian, yaitu; 1)  wara’ul ‘adl (wara’ orang yang adil), 2) wara’ush shalihin (wara’ orang shaleh), 3) wara’ul muttaqin (wara’ orang-orang yang takwa), dan 4) wara’ush shiddiqin (wara’ orang-orang yang jujur).

Berikut konsep Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. dalam syair, yang korelasinya bersosial dengan parameternya Al-Qur’an dan Al-Hadits:

Jika di hatimu terbesit kebencian terhadap seseorang

Jika di hatimu terbesit rasa suka terhadap seseorang

Bandingkanlah perbuatannya dengan Kitab dan Sunnah

Jika dalam pandangan keduanya baik, maka cintailah ia

Jika dalam pandangan keduanya buruk, maka bencilah ia

Karena

Kalaupun engkau harus membenci, bencimu bukan karena nafsu

Kalaupun engkau harus mencintai, cintamu bukan karena nafsu

Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu  mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Q.S Shad: 26)[8]

7. Berakhlak Ihsan

Ihsan merupakan buah dari pengamalan dan penghayatan Rukun Islam dan Rukun Iman. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan bahwa:

“Ihsan adalah mengabdi kepada Allah sepenuh hati seolah-olah engkau melihat Allah, dan meskipun engkau tidak melihat-Nya, Dia melihat engkau.”

Ihsan tentunya merupakan hasil dari sebuah proses pelaksanaan syariat iman yang benar, maka jangan berharap ada buah yang bermanfaat bagi muslim yang tidak lain di namakan Ihsan. Kebanyakan, kalau membicarakan tentang syariat, kita hanya terpatri pada makna yang sempit, yaitu terbatas pada ibadah mahdlah atau ritual belaka. Begitu pula kalau bicara tentang iman, yang ada hanyalah konsep keimanan dan bukan perilaku atau subtansi dari keimanan itu sendiri.

Keimanan diumpamakan pohon yang baik (thayyibah) dan akarnya menghujam ke dalam tanah; ashluha tsabit, kokoh akarnya. Selain itu, cabangnya  pun menjulang ke langit. Dan, pohon ini memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Penjelasan tersebut, termaktub dalam al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25.

“Alam tarakaifa dlaraba Allah matsalan kalimatan thayyibatan kasyajaratin thayyibatin ashluha tsabitun wa far’uha fi al-sama. Tu’ti ukullaha kulla hiniin bi-idzni rabbiha wa yadlribu Allah al-amtsal lin-nasi la’allahum yatadzakkarun.”

Artinya: “Tidaklah engkau perhatikan, bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik, seperti sebatang pohon yang baik, pokoknya tetap (dibumi), sedang cabangnya (menjulang ke langit). Menghasilkan buahnya tiap-tiap waktu dengan izin Tuhannya. Allah memberikan beberapa contoh kepada manusia, mudah-mudahan mereka mendapat peringatan.”

Syekh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. melihat bahwa antara Islam dan Iman, terdapat makna dan arti, yang berbeda tidak sama. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapannya:

“wa ama al-islam fahuwa min jumlat al-iman, wa kulu iman islam wa laisa kuli islam iman.”

Artinya: “Beliau menyatakan berkaitan dengan kasus Arab Badui yang mengidentikkan dirinya dengan orang beriman namun Allah menggolongkan mereka dalam golongan orang Islam.” [9]


Footnote:
[1] Sayyed Mohamed Fadil AL-JAILANI Al-Hasani, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani R.A (Depok: Keira Publishing, 2016), hal. 73
[2] Ibid, hal. 85
[3] Syekh Abdullah Asy-syarkawi, Al-Hikam (Jakarta: Turis, 2015), hal. 197
[4] Ibid, hal. 11
[5] Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik Abdul Qadir Al-Jailani (Jakarta: Wahyu Press, 2004), hal. 32
[6] Al-Hikam Abi Al-Hasan Nuruddin 'Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Al-Ahadits Al-Qudsiyyah Ash-Shahihah, (Bandung: Gema Risalah, 2008), hal. 167
[7] Ibid, Biografi Syekh... hal. 255
[8] Ibid, hal. 92
[9] Ibid, Pemikiran Teologi... hal. 34


               Foto: Hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment

Khazanah Keilmuan Ulama Nusantara

Sebelum Islam masuk ke wilayah Melayu Nusantara, khazanah keilmuan yang terekam dalam berbagai naskah  hingga manuskrip masih dipengaruhi ol...